Festival Sabaki Banten Kidul di Gunung Halimun. (Yandhi Deslatama/Liputan6.com) |
Sebelum melakukan panen ada ritual adat yang harus dilakoni yaitu mipit. Masyarakat dilarang mendahului kegiatan panen di lahan mereka sebelum kegiatan panen di sawah tangtu atau sawah adat. Dalam kegiatan panen masyarakat tetap harus mengikuti petunjuk atau komando dari kokolot.
Di pelosok Kabupaten
Lebak Provinsi Banten terdapat kelompok masyarakat yang menamakan diri
masyarakat adat kasepuhan Citorek yang masih kuat menjaga adat dan budaya
termasuk menjaga ketahanan pangan. Mereka menjadikan agraris sebagai budaya
yang diperkuat dengan aturan adat. Deretan lumbung padi yang disebut leuit menjadi
bentuk nyata bagaimana mereka mampu menjaga ketahanan pangan. Budaya agraris
seolah telah melekat kepada semua lapisan masyarakat di Kasepuhan Citorek,
hampir setiap kepala keluarga memiliki leuit.
Dan mengapa suatu negara
disebut negara agraris? Karena negara tersebut kaya akan sumber daya alam dan
sebagian besar masyarakatnya bergerak di sektor pertanian, salah satunya negara
kita, Indonesia. Indonesia pernah berjaya di sektor pertanian sehingga mampu
swasembada pangan pada saat itu, Indonesia meraih swasembada
pangan pada tahun 1984-1985. Saat Konferensi ke-23 Food and
Agriculture Organization (FAO) pada 14 November 1985 menjadi saat-saat yang
membanggakan bagi bangsa Indonesia kala itu, saat ini julukan negara
agraris Indonesia dipertanyakan.
Embun pagi yang tebal
khas Citorek tidak menyurutkan semangat masyarakat kasepuhan untuk melakukan
panen di sawah-sawah yang menghampar luas. Di pagi hari, ibu-ibu sudah ramai
beriringan dengan mengunakan tudung parada untuk menahan teriknya matahari dan
hujan, tidak lupa etem2 yang selalu siaga di dalam epok3.
Bertani bagi masyarakat kasepuhan Citorek sudah menjadi budaya yang mendarah
daging diturunkan dari generasi ke generasi.
Masyarakat adat kasepuhan
Citorek selalu melakukan kegiatan panen serentak. Dalam kegiatan panen
masyarakat tetap harus mengikuti petunjuk atau komando dari kokolot.
Masyarakat dilarang mendahului kegiatan panen di lahan mereka sebelum kegiatan
panen di sawah tangtu atau sawah adat. Sebelum melakukan panen ada ritual adat
yang harus dilakoni yaitu mipit1. Kegiatan panen raya
tahun ini bertepatan pada bulan Agustus 2020, masyarakat kasepuhan sangat
antusias dalam setiap kegiatan panen. Tidak sedikit orang dari luar wewengkon
Citorek yang ikut serta pada saat panen, mereka menyebutnya dengan
istilah déreup.
Sistem pertanian
masyarakat kasepuhan Citorek masih tradisional dan di norma adat, mulai dari
kapan waktu pengolahan tanah, penanaman dan panen yang dilakukan secara
serentak. Ini salah satu bukti bahwa mereka memahami betul hubungan kegiatan
pertanian dengan klimatologi, sehingga para baris kolot (kokolot) bisa
menentukan kapan waktu yang tepat untuk tanam. Biasanya mereka menentukan
segala urusan pertanian dengan mengunakan sistem penanggalan kalender hijriah.
Panen raya padi di
wewengkon Citorek dilakukan satu tahun sekali, karena memang sistem penanaman
padi diatur secara adat dan hanya membolehkan masyarakat menanam satu kali
dalam satu tahun. Sebagai bentuk kewaspadaan menghadapi musim paceklik,
masyarakat secara mandiri menjaga stok pangan. Masyarkat dilarang menjual hasil
panen (padi) secara masal. Kalaupun harus menjual, hanya diperbolehkan
seperlunya saja. Maka jangan heran kalau wewengkon Citorek disebut ‘negeri
seribu leuit‘.
(Dok. Copyright Forecstact.com) |
Pada saat musim panen ada
fenomena yang sangat unik di wewengkon Citorek, sepanjang jalan akan banyak
berjejer lantaian (tempat pengeringan padi tradisional yang terbuat dari bambu)
seperti layaknya kereta. Tidak sedikit para wisatawan yang sengaja mengabadikan
diri berfoto dengan latar lantaian sebelum mereka berwisata ke Gunung Luhur
atau saat pulang dari Gunung Luhur. Mereka memanfaatkan moment tersebut
mengingat fenomena ini hanya ada setahun sekali.
Padi hasil panen
masyarakat kasepuhan Citorek yang tersimpan di dalam leuit mampu
bertahan belasan hingga puluhan tahun karena sistem pengeringan yang dilakukan
secara tradisional membuat kadar air pada malai dan bulir padi bisa sampai di
bawah 10 persen. Hal tersebut bisa membuat padi awet dan tahan lama.
Kegiatan panen raya tahun
ini memang terasa berbeda dikarenakan adanya wabah Covid-19, tapi itu tidak
menyurutkan antusiasme masyarakat. Masyarakat kasepuhan sangat memahami betapa
pentingnya menjaga cadangan pangan di tengah pandemik yang sedang melanda saat
ini. Anak-anak muda sudah diberikan peringatan atau semacam doktrin oleh para
orang tua bahwa mereka harus tetap menjaga cadangan pangan mereka. Dan itu
dilakukan terus menerus dari generasi ke generasi.
Budaya agraris di
kasepuhan Citorek bisa menjadi contoh dan pelajaran berharga buat kita semua.
Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam melimpah, betapa pentingnya
menjaga budaya agraris, sehingga cita-cita menjadikan negara dengan swasembada
di bidang pangan akan tercapai. Saat ini masyarakat kasepuhan Citorek sudah
mampu membuktikan bahwa mereka bisa swasembada pangan, surplus beras mereka
tidak tangung tangung. Sekali panen mereka bisa surplus yang bisa memenuhi
kebutuhan selama 2 sampai 3 tahun sehingga ketika panen tahun berikut kurang
bagus maka cadangan pangan mereka tetap aman.
Wewengkon kasepuhan
Citorek dengan kearifan lokalnya di bidang pertanian menjadi jejak sejarah
bahwa nenek moyang kita merupakan masyarakat yang memiliki budaya agraris.
Budaya agraris di kasepuhan Citorek harus tetap terjaga dan dijaga agar ke
depan kita bisa belajar sejarah. Apalagi saat ini lonjakan penduduk usia
produktif semakin meningkat dan lapangan kerja semakin sulit, sektor pertanian
sangat potensial untuk dikembangkan demi menjawab permasalahan kurangnya
lapangan kerja. Tinggal bagaimana kita mampu menyadarkan generasi muda akan
potensi pertanian. Penyuluh pertanian harus mau bekerja keras, keluar dari zona
nyaman, mencari cara yang efektif saat melakukan penyuluhan agar mampu menarik
generasi muda.
Semoga dengan banyaknya
generasi muda yang terlibat di sektor pertanian, bonus demografi dapat
dimanfaatkan untuk menuju masyarakat yang berdaya, inovatif dan produktif
sehingga swasembada pangan bukan hanya sekedar mimpi tetapi bisa jadi
kenyataan.
2. Etem merupakan alat panen tradisional terbuat dari kayu dengan bilah yang terbuat dari besi dan gagang dari bambu.
3. Epok merupakan tas kecil yang terbuat dari anyaman bambu, dengan tali terbuat dari kain agar mudah diikatkan pada pinggang.
Sumber Tulisan Bantenhejo